Powered by Blogger.
  • Home
  • About BCI
  • About Bipolar
    • Apa Itu Bipolar
    • Referensi
    • Articles
  • Events
  • Gallery
  • Join Us
facebook instagram

Bipolar Care Indonesia


Banyak yang bertanya ke admin, apakah penyintas bipolar bisa punya hubungan yang sehat atau bahkan menikah? Jawabannya bisa!! Tidak mudah memang tetapi bukan sesuatu yang mustahil terjadi, berikut tips yang bisa kamu terapkan, kali ini buat kamu penyintas bipolar dulu ya, next admin akan share juga buat pasangannya :

1. Jujur
Kejujuran memang modal utama supaya hubungan kamu bisa langgeng, termasuk jujur bahwa kamu terdiagnosa bipolar.Kejujuran juga membantu pasangan kamu agar bisa lebih memahamimu.

2. Konsisten
Konsistensi kamu dalam menjalani terapi, baik itu psikotetapi, farmakotetapi, atau tetapi apapun yang kamu jalani membantu mood kamu lebih stabil. Setidaknya hal ini bisa sedikit mengurangi beban pasanganmu. Kamu juga ngga mau kan pasanganmu bete gara-gara kamu uring-uringan terus.

3. Berbagi perubahan suasana hati
Bagi kamu penyintas bipolar kamu harus bisa memetakan perubahan susana hatimu.Kapan kira-kira kamu memasuki episode depresi atau mania. Berbagilah dengan pasanganmu sehingga pasanganmu tahu bagaimana harus bersikap menghadapi perubahan susana hatimu.

4. Dengarkan pendapat pasanganmu.
Jika pasangan kamu memberitahu kamu tentang tanda-tanda perubahan suasana hatimu, dengarkan dan diskusikan tanpa bersikap defensif. Walaupun tidak semua perubahan suasana hati karena bipolar tapi setidaknya dengan mendengarkan, pasanganmu merasa lebih .dihargai.
Ada orang yang bilang memiliki hubungan dengan penyintas bipolar seperti menaiki roller coaster, deg-degan tapi seru dan tidak membosankan kan.

Walaupun begitu, bipolar kamu jangan dijadikan Excuse agar kamu terus menerus ingin dipahami oleh pasangan jamu, justru kamu harus memahami diri kamu dahulu sehingga keseimbangan dalam hubungan dapat terjaga.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

FAMILY SUPPORT GROUP – APRIL 2019
Apakah anda memiliki anggota keluarga dengan gangguan bipolar? Gangguan bipolar adalah gangguan yang termasuk dalam gangguan mood. Gangguaan bipolar merupakan suatu kondisi mental yang menyebabkan terjadinya perubahan mood yang ekstrem. Orang dengan gangguan ini ditandai dengan berubahnya perasaan secara tiba-tiba dari sangat bahagia (mania) menjadi sangat sedih (depresi).
Dukungan dari orang sekitar terutama orang tua akan berperan penting dalam membantu anggota keluarga untuk menghadapi gangguan bipolar tersebut. Oleh karena itu, datang dan ikuti workshop yang diadakan oleh PDC Care x Bipolar Care Indonesia @bipolarcare.indonesia dengan tema :
Maksimalisasi Peran Orang Tua dalam Menangani Anak dengan Gangguan Bipolar
Workshop ini gratis dan terbuka untuk umum!
Workshop akan dilaksanakan pada hari Rabu, 24 April 2019 pukul 14.00-16.00 di PDC Office, Centennial Tower (Lt. 20), Unit H, Jalan Gatot Subroto 24/25 Jakarta Selatan.
Untuk Info dan Pendaftaran silahkan menghubungi: 
Whatsapp: Shinta - 0858 3109 1360.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Hari Bipolar Sedunia jatuh pada tanggal 30 Maret. Untuk merayakannya, sekaligus sebagai langkah dalam memberantas stigma tentang gangguan jiwa khususnya Bipolar, Komunitas Bipolar Care Indonesia membuat acara diskusi dengan tema “Kenali Permasalahan Gangguan Bipolar dan Solusinya” di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 30 Maret 2019. Membawa beberapa permasalahan yang dialami penyintas Bipolar, terdapat narasumber yang sesuai dengan bidang permasalahannya, yaitu Psikiater dan perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat.

Ada beberapa permasalahan yang dialami penyintas Bipolar dibahas dalam diskusi ini, yaitu permasalahan bullying, kekerasan fisik/seksual, dan diskriminasi dalam tempat kerja terkait dengan Bipolar yang dialami. Dari kesaksian teman-teman penyintas Bipolar, dapat diketahui bahwa bullying dan kekerasan sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental. Seperti contoh pengalaman bullying dan kekerasan yang diceritakan oleh dua penyintas Bipolar, hal tersebut dapat membuat gejala Bipolar yang dialami semakin parah meskipun sekarang sudah tidak mengalami bullying dan kekerasan lagi; Pengalaman tersebut menyisakan trauma yang dapat muncul ketika sedang kambuh. Mereka berharap untuk kedepannya sekolah-sekolah memiliki pelajaran tentang kesehatan mental dan murid diajari tentang bahayanya bullying untuk meningkatkan awareness, serta para pendidik mendapat pelatihan mengenai kesehatan mental sehingga mereka lebih mengerti cara menangani murid yang memiliki masalah kejiwaan dan mencegah pendidik berlaku kasar terhadap murid.

Permasalahan lain yang dibahas dalam diskusi ini adalah diskriminasi dalam tempat kerja. Salah satu penyintas Bipolar yang berprofesi sebagai dokter bercerita bahwa dirinya dikeluarkan dari tempat kerja karena mengalami Bipolar, padahal kinerjanya cukup bagus. Alasan atasannya mengeluarkan dia karena takut akan membahayakan pasien. Perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Ricky Gunawan, menjelaskan bahwa orang dengan disabilitas apapun berhak untuk mendapatkan pekerjaan, termasuk menjadi dokter. Tidak ada Undang-Undang yang melarang penyandang disabilitas untuk menjadi dokter. Penyandang disabilitas memiliki hak-hak yang dilindungi oleh Negara melalui Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 yang diantaranya adalah hak untuk tidak diskriminasi dan hak untuk bekerja. Jadi, pihak yang melarang penyandang disabilitas mental untuk bekerja termasuk melanggar hak asasi manusia dan dapat dipidanakan.

Harapan saya dengan adanya acara Hari Bipolar Sedunia yang diadakan oleh komunitas Bipolar Care Indonesia, masyarakat dapat lebih aware tentang gangguan mental, stigma mengenai gangguan mental juga dapat dihilangkan, tidak adanya lagi masalah bullying, para penyintas disabilitas mental mengetahui bahwa mereka memiliki hak untuk berkerja dan tidak diskriminasi, serta diskriminasi terhadap penyintas gangguan mental dalam pekerjaan tidak ada lagi.

Oleh : Olivia Fabrianne, Aktivis Kesehatan Jiwa di Bipolar Care Indonesia
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
https://www.alcoholrehabguide.org/treatment/counseling/

Selain Obat, Bagaimana Cara Mengatasi Depresi?
oleh dr. Eduardo Renaldo 

Depresi kerap kali tidak disadari terutama pada penderita yang mengalami dengan depresi ringan karena gejalanya yang kurang mencolok. Barulah ketika depresi menjadi berat, kebanyakan orang menemui dokter dan mendapatkan obat antidepresan. Tapi apakah hanya melulu obat yang dapat dijadikan senjata mengatasi depresi? 

Ya memang hampir semua depresi membutuhkan antidepresan (70%-80% pasien berespons terhadap antidepresan). Setelah sembuh dari episode depresi pertama, obat dipertahankan untuk beberapa bulan, kemudian diturunkan. Untuk pasien yang telah kambuh beberapa kali, dibutuhkan obat pemeliharaan untuk periode jangka panjang. Tapi, apakah hanya itu cara ampuh untuk mengatasi depresi? 

Ternyata ada beberapa cara dalam mengatasi depresi. Bentuk terapi ini sendiri bergantung dari diagnosis, berat penyakit, umur pasien, dan juga repons terhadap terapi sebelumnya. Walaupun sebgaian besar penderita depresi membutuhkan antidepresan, pasien hendaklah diberikan psikoterapi (terapi bicara) seperti terapi kognitif, perilaku, psikodinamik, dan terapi kelompok. Bagi yang mempunyai masalah perkawinan, terapi perkawinan dapat pula diberikan. 

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation/WHO) dalam program mhGAP (Mental Health Gap Action Programme) merekomendasikan bahwa sebagai lini pertama selain terapi obat, semua pasien depresi sebaiknya mendapatkan psikoterapi baik itu berupa terapi kognitif-perilaku (cognitive behavioral therapy/CBT) maupun psikoterapi lainnya. Namun tetap, kita harus waspada dengan efek samping obat antidepresan, dan harus mengetahui bahwa antidepresan dapat mencetuskan episode manik pada beberapa pasien bipolar. 

Psikoterapi (terapi bicara) merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku menyimpang. Terapi ini dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan yang professional antara terapis dengan pasien. Psikoterapi dapat diberikan secara individu, kelompok, atau pasangan sesuai dengan gangguan psikologis yang mendasarinya. Beberapa hal dapat menjadi pertimbangan untuk pemilihan jenis psikoterapi. Jenis psikoterapi yang dapat digunakan antara lain, terapi kognitif-perilaku (cognitive behavioral therapy/CBT), psikoterapi suportif, terapi psikodinamik, terapi kelompok, dan terapi keluarga. 

1. Terapi Kognitif-Perilaku (Cognitive Behavioral Therapy/CBT) 

Para ahli yang tergabung dalam National Association of Cognitive-Behavioral Therapists (NACBT) mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive-behavior therapy adalah suatu pendekatan psikoterapi yang menekankan peran penting dari pemikiran mengenai bagaimana kita merasakan dan apa yang kita lakukan. 

Prinsip dasar terapi kognitif-perilaku (cognitive behavioral therapy/CBT) menitikberatkan pada pendekatan kognitif (pola pikir) yang meyakini bahwa pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses di mana proses kognitif seseorang untuk menerima, mengolah, menyimpan dan menggunakan kembali semua masukan stimulus sensorik tersebut untuk menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak. Sedangkan, aspek perilaku (behavior) merupakan pendekatan untuk mengubah kebiasaan perilaku seseorang ketika bereaksi di dalam suatu permasalahan. 

Terapi Kognitif 

Terdapat dugaan bahwa penderita depresi adalah orang yang “menjadi tak berdaya”. Depresi sendiri diterapi dengan memberikan pasien latihan keterampilan dan memberikan pengalaman-pengalaman tentang kesuksesan. 

Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan gejala melalui usaha yang sistematis, yaitu merubah cara pikir yang otomatis dan maladaptif pada pasien-pasien depresi. Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi bahwa kepercayaan-kepercayaan negatif tentang diri sendiri, dunia, dan masa depan dapat menyebabkan depresi. Pasien harus menyadari cara berpikirnya yang salah. Kemudian, ia harus belajar cara merespons cara pikir yang salah tersebut dengan cara yang lebih adaptif. Dari sudut pandang kognitif, pasien dilatih untuk mengenal dan menghilangkan pikiran-pikiran negatif dan harapan-harapan negatif. Cara ini dipraktikkan sebagai modal utama dalam merubah gejala. 

Terapi ini berlangsung kurang lebih 12-16 sesi. Terdapat tiga fase yaitu: 

1. Fase awal (sesi 1-4): Membentuk hubungan awal dengan pasien. Mengajarkan pasien tentang bentuk kognitif yang salah dan pengaruhnya terhadap emosi dan fisik. Menentukan tujuan terapi. Mengajarkan pasien untuk mengevaluasi pikiran-pikirannya yang otomatis. 

2. Fase pertengahan (sesi 5-12): Mengubah secara berangsur-angsur kepercayaan yang salah. Membantu pasien mengenal akan kepercayaan diri. Pasien diminta mempraktikkan ketrampilan berespons terhadap hal-hal yang mencetuskan perasaan depresi dan memodifikasinya. 

3. Fase akhir (sesi 13-16): Menyiapkan pasien untuk mengakhiri dan memprediksi situasi beresiko tinggi yang berkaitan dalam terjadinya kekambuhan, dan mulai melakukan pembelajran untuk melakukan terapi sendiri. 

Terapi Perilaku 

Intervensi perilaku terutama efektif untuk pasien yang menarik diri dari aktivitas sosial dan anhedonia. Terapi ini sering digunakan bersama-sama dengan terapi kognitif atau yang dikenal dengan terapi perilaku kognitif. Tujuan terapi perilaku adalah meningkatkan aktivitas pasien, mengikutkan pasien dalam aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan perasaan yang menyenangkan. 

Fase awal: pasien diminta untuk memantau aktivitas merekam menilai derajat kesulitan aktivitasnya, serta kepuasan terhadap aktivitasnya. Pasien diminta untuk melakukan sejumlah aktivitas yang menyenangkan. Pada fase awal juga turut disertakan beberapa aktivitas sosial yang dapat meningkatkan hubungan interpersonal, perilaku asertif, dan menurunkan perilaku yang cenderung menerima dan bahkan menyerah pada semua hal yang terjadi, sekalipun yang dihadapi itu buruk adanya. 

Fase akhir: Fokus berpindah ke latihan untuk mengontrol diri dan pemecahan masalah. Diharapkan kemampuan yang didapat di dalam terapi dapat digeneralisasi dan dipertahankan dalam lingkungan pasien sendiri. 

Terapi kognitif dan perilaku sangat terkait karena bagaimana kita berperilaku mencerminkan bagaimana kita berpikir terhadap hal-hal atau situasi tertentu. Keseluruhan tujuan dari teknik ini adalah mengidentifikasi tanggapan kognitif mereka yang membentuk reaksi dan memutuskan apakah tanggapan tersebut rasional dan bermanfaat, kemudian mereka akan mempelajari strategi dan cara baru untuk menghadapi masalah tersebut. 

2. Psikoterapi Suportif 

Psikoterapi ini hampir selalu diindikasikan dengan cara memberikan kehangatan, empati, pengertian, dan optimistik. Bantu pasien mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya dan bantu untuk menenangkan dirinya. Indetifikasi faktor pencetus dan bantu untuk mengkoreksinya. Membantu memecahkan problem eksternal (misalnya masalah pekerjaan, rumah tangga). Latih pasien untuk mengenal tanda-tanda dekompensasi yang akan datang. Temui pasien sesering mungkin (mula-mula 1-3 kali per minggu) dan secara teratur, tetapi jangan sampai tidak berakhir atau selama-lama nya. 

3. Psikoterapi Psikodinamik 

Dasar terapi ini adalah teori psikodinamik, yaitu kerentanan psikologik yang terjadi akibat konflik perkembangan yang tidak selesai. Terapi ini dilakukan dalam periode jangka panjang. Perhatian pada terapi ini adalah gangguan psikologis menyeluruh yang diduga mendasari gangguan depresi. Misalnya, problem yang berkaitan dengan rasa bersalah, rasa rendah diri, berkaitan dengan pengalaman yang memalukan, pengaturan emosi yang buruk, dan kemampuan interpersonal yang buruk akibat buruknya hubungan dalam keluarga. 

4. Terapi Kelompok 

Terapi kelompok sangat efektif untuk terapi jangka pendek terutama bagi pasien dengan rawat jalan, dan juga lebih efektif untuk depresi ringan. Terdapat beberapa keuntungan terapi kelompok: 

1. Biaya lebih murah 
2. Ada destigmatisasi dalam memandang orag lain dengan problem yang sama 
3. Memberikan kesempatan untuk memainkan peran dan mempraktikkan ketrampilan perilaku interpersonal yang baru 
4. Membantu pasien dalam mengaplikasikan ketrampilan baru. 

5. Terapi keluarga 

Terapi keluarga adalah intervensi yang berfokus untuk mengubah interaksi di antara anggota keluarga dan berupaya untuk memperbaiki fungsi keluarga sebagai suatu unit yang terdiri dari individu-individu. Terapi ini berlangsung selama 8-28 sesi dan satu sesi biasanya dilangsungkan tidak lebih dari sekali dalam seminggu. Tiap sesi dapat memerlukan waktu sebanyak 2 jam. Sesi yang lama dapat mencakup istirahat untuk memberikan waktu bagi terapis untuk mengatur bahan dan merencanakan suatu respons. 

Terapi ini mengasumsikan bahwa setiap anggota keluarga memiliki sifat serta karakter yang unik dan baru tampak ketika mereka berinteraksi langsung. Oleh karena itu, dalam terapi ini suatu keluarga perlu dilihat secara keseluruhan di bandingkan dengan melihat mereka secara individualistik. Terapis keluarga umumnya berpikir bahwa terdapat anggota keluarga yang telah dilabel sebagai pasien yang diidentifikasi keluarga sebagai “sumber masalah, orang yang patut dipersalahkan, dan membutuhkan bantuan.” Tujuan terapi keluarga adalah untuk membantu keluarga mengerti bahwa gejala pasien yang diidentifikasi tersebut adalah problem utama keluarga, bukan sebagai masalah individual. Oleh karena itu, terapis harus dapat sesegera mungkin mengidentifikasi adanya masalah keluarga atau komunikasi keluarga yang salah, untuk mendorong semua anggota keluarga mengintrospeksi diri menyangkut masalah yang muncul. 

Setelah mengetahui beberapa pilihan cara untuk mengatasi depresi, pastikan sebelum memulai terapi anda telah berkonsultasi dengan tenaga ahli seperti psikiater yang dapat berkolaborasi dengan psikolog klinis untuk terapi non obat sehingga menghasilkan penanganan yang paling cocok dan optimal. Sebelum gangguan semakin berat, jangan ragu untuk segera mencari bantuan pada ahlinya. 


Daftar Pustaka: 

1. mhGAP-Mental Health Gap Action Programme. Antidepressant medication in comparison with psychological treatment for moderate-severe depressive disorder. WHO. 2015 
2. CBT: What is Cognitive-Behavioral Therapy? [Internet]. Diunduh dari: http://nacbt.org/whatiscbt.aspx [22 Mar 209]. 
3. Muqodas I. Cognitive-behavior therapy: solusi pendekatan praktek konseling di Indonesia. Jakarta: ABKIN; 2011. 
4. Sadock BJ, Sadock VA. Synopsis of psychiatry. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. hlm 453-4. 
5. Amir N. Depresi: aspek neurobiologi diagnosis dan tatalaksana. Ed. Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Bipolar Care Indonesia

Commercial Photography

Merupakan sebuah komunitas yang bergerak di bidang kesehatan jiwa, mewadahi penyintas bipolar, caregiver-nya, dan siapa saja yang peduli dengan bipolar. Melakukan edukasi, dukungan, dan aktivitas dengan bimbingan profesional maupun mandiri.

Categories

  • Articles
  • Events
  • Gallery

Follow Us

  • Instagram
  • Facebook

Pages

  • Home
  • About
  • Apa Itu Bipolar ?
  • Referensi
  • Join Us

Blog Archive

  • Feb 2022 (1)
  • Jan 2022 (1)
  • Jun 2021 (1)
  • Oct 2020 (2)
  • May 2020 (6)
  • Apr 2020 (1)
  • Mar 2020 (1)
  • Feb 2020 (2)
  • Jan 2020 (1)
  • Dec 2019 (5)
  • Nov 2019 (1)
  • Oct 2019 (2)
  • Sep 2019 (4)
  • Aug 2019 (1)
  • Jul 2019 (1)
  • Jun 2019 (1)
  • May 2019 (4)
  • Apr 2019 (6)
  • Mar 2019 (2)
  • Feb 2019 (3)
  • Jan 2019 (3)
  • Dec 2018 (2)
  • Nov 2018 (3)
  • Oct 2018 (3)
  • Sep 2018 (9)

Instagram

@bipolarcare.indonesia

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates