Kikis Stigma Melalui Edukasi Kesehatan Mental
Gangguan mental berkontribusi sekitar 23 persen terhadap beban kesehatan mental dunia. Tingginya angka prevalensi gangguan mental berdampak kepada beban sosial dan ekonomi, terlebih hanya sekitar 10 persen yang mendapatkan penanganan professional. Masalah serius lainnya terkait gangguan mental adalah kentalnya stigma terhadap para penyintas.
Berdasarkan artikel analisis dari Fakultas Psikologi UGM berjudul “Literasi Kesehatan Mental dan Sikap Komunitas sebagai Prediktor Pencarian Pertolongan Formal” dikemukakan, gangguan mental merupakan salah satu tantangan kesehatan global yang memiliki dampak signifikan lantaran prevalensi yang tinggi serta penderitaan hebat yang ditanggung oleh individu penyintas, keluarga, komunitas, bahkan negara.
World Health Organization (WHO) menyatakan, pada 1990, gangguan mental dan neurologis berkontribusi sebesar 10 persen dari total Disability Adjusted Life Years (tahun yang dihabiskan seseorang dalam kondisi disabilitas), lantas pada 2000 menjadi 12 persen dan perkirakan meningkat hingga 15 persen pada 2020.
Sementara itu, mengacu kepada Riset Kesehatan Dasar, prevalensi gangguan jiwa berat nasional sekitar 1,7 per mil, artinya 1 – 2 orang dari 1.000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Angka bunuh diri di Indonesia juga terus meningkat hingga sempat mencapai 1,6 – 1,8 tiap 100.000 penduduk, kejadian bunuh diri tertinggi berada pada kelompok usia remaja dan dewasa muda (15 – 24 tahun).
Adapun, stigma terhadap penyintas kesehatan mental merupakan perkara yang semakin memperkeruh kondisi di lapangan. Bahwa penggunaan layanan kesehatan mental kerap terhalang stigma kepada penyintas, ini datang baik dari diri individu sendiri maupun lingkungan sosial.
Stigma adalah persepsi negatif yang dikenakan kepada penyintas gangguan mental. Salah satu manifestasi stigma, yakni ketika penyintas gangguan mental justru dipasung dengan cara diisolasi dari masyarakat akibat rasa malu yang dirasakan internal keluarga.
Seluruh kondisi yang ada selayaknya menyadarkan berbagai pihak bahwa sudah saatnya penggunaan layanan kesehatan mental dibuat maksimal dengan cara mengedukasi agar masyarakat lebih sadar terhadap pentingnya mental health. Bahwa, mencari pertolongan profresional merupakan opsi yang wajar ditempuh bagi seseorang dengan gangguna mental, ini bukan kelemahan apalagi aib.
Salah satu faktor yang menghambat pencarian pertolongan formal terkait gangguan mental adalah rendahnya pengetahuan mengenai gangguan mental itu sendiri. Rendahnya pengetahuan ditunjukkan dari ketidakmampuan dalam identifikasi kesehatan mental yang dimiliki seseorang, atau konsepsi keliru mengenai gangguan mental sehingga orang cenderung mencari pertolongan informal.
Sudah saatnya kita menyadari dan mau mengakui pentingnya kesehatan diri secara holistik, termasuk di dalamnya adalah kesehatan mental. Kita juga perlu menyadari bahwa proses pemulihan memerlukan waktu, ini tak serupa garis lurus yang berjalan mulus.
Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental. Dan, Selamat Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2020. “Asking for help is a courageous step”
Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental. Dan, Selamat Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2020. “Asking for help is a courageous step”
Oleh : Dinihari Suprapto